Senin, 26 Maret 2012

Apresiasi Semarak, Kritik Sastra Senyap

Oleh Ridwan
Universitas Negeri Makassar

Kehidupan sastra nasional dan daerah di Bali terus berlanjut sejak dulu. Banyak karya diciptakan, dibaca, dipentaskan dalam bentuk seni pertunjukan seperti sendratari dan wayang, atau ditransformasi dalam bentuk seni rupa atau seni ukir di tembok-tembok. Ada juga novel disajikan lewat film atau sinetron.
Apresiasi sastra berlangsung di masyarakat ketika ada kegiatan ritual, atau di radio dan televisi lewat kidung interaktif, dagang gantal, atau gita shanti. Fakta-fakta ini mengindikasikan kreativitas dan apresiasi seni sastra di Bali berjalan semarak tetapi ada satu hal yang kurang yaitu absennya kegiatan kritik sastra. Isi dan pesan karya banyak disimak tetapi tidak pernah dikritik sebagai karya sastra. Tulisan kritik sastra jarang dibuat.
Yang dimaksud dengan apresiasi adalah pembacaan atau penikmatan sastra. Pembicaraan isi secara verbal juga termasuk di dalam apresiasi. Sedangkan kritik sastra meliputi kajian atau ulasan secara menyeluruh atas sebuah/sejumlah karya. Tulisan tentang sejarah sastra dan kajian atas fenomena sastra juga termasuk di dalamnya.
Sangat Dinamis
Sesudah kemerdekaan, perkembangan sastra Indonesia sangat dinamis seperti bisa diikuti lewat puisi dan cerpen yang dimuat di majalah Bhakti dan Damai serta Mingguan Harapan. Penulis Windhya Wirawan, Putu Shanti, dan Made Kirtya, dan Tjok Rai Sudharta banyak berkarya tahun 1950-an. Tahun 1960-an, geliat itu kian ramai akibat serunya perseteruan antara seniman yang pro-partai politik PNI dan PKI, atau antara LKN dan Lekra, sayap kanan dan sayap kiri. Koran Suara Indonesia, Suluh Indonesia, atau Suluh Marhaen (nama lama Bali Post) banyak memuat puisi dan cerpen.
Zaman Orde Baru kehidupan sastra berjalan terus, ditandai dengan publikasi karya di surat kabar dan majalah, apresiasi sastra, lomba baca puisi, pentas drama, dan sebagainya. Ada juga teks yang diangkat menjadi sinetron seperti “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” karya Nyoman Rastha Sindhu. Cerpen ini keluar sebagai cerpen terbaik Horison tahun 1969, menorehkan sebuah prestasi nasional penulis Bali.
Media massa memainkan peran sangat besar karena membuka diri untuk mempublikasikan puisi, cerpen, novel atau naskah drama. Sastrawan Bali seperti Oka Rusmini dan Aryantha Soethama berjaya di tingkat nasional. Antologi cerpen Aryantha Soethama berjudul Mandi Api berhasil menyabet gelar prestisius Khatulistiwa Literary Award tahun 2006. Sementara itu, sejumlah penyair Bali diundang ke forum baca puisi internasional sampai ke Den Haag, Jerman, atau Paris seperti Warih Wisatsana, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie.
Namun, di tengah dinamika kehidupan sastra Indonesia di Bali, yang sangat terasa kurang adalah kegiatan kritik sastra. Apresiasi berjalan baik tetapi kritik sastra hanya satu-dua bahkan nyaris kosong melompong. Kecuali sedikit ulasan berupa resensi buku di koran, kritik sejati sungguh sepi.
Kalau mencari siapakah kritikus sastra Indonesia di Bali, kita mungkin hanya menemukan satu-dua nama seperti almarhum I Made Sukada (dosen Fakultas Sastra Unud) dan I Nyoman Tusthi Eddy (seorang guru SMA di Karangasem). Mereka menulis ulasan sastra di koran, menulis makalah dan menerbitkan buku. Itu pun tidak banyak, tidak berpengaruh.
Tanpa kritik, sastra memang bisa maju tetapi dengan kritik kontribusi sastra untuk kehidupan kebudayaan dan pengetahuan humaniora bisa kian lengkap. Sastra tanpa kritik seperti api unggun tanpa angin, tak membara dan tak memberi hangat optimal.
Sastra Bali
Kehidupan sastra Bali tradisional dan sastra Bali modern juga menghadapi kenyataan langkanya kritik sastra. Ulasan sastra umumnya ditulis untuk skripsi atau thesis atau desertasi, di luar itu nyaris tidak ada. Karya sastra tradisional seperti kakawin, kidung, gaguritan banyak dibaca dalam mabebasan, gita shanti, kidung interaktif, di pura, di banjar, di radio, di televisi tetapi itu semua sebatas apresiasi sastra, yakni mengungkap atau menikmati nilai yang terkandung dalam teks.
Menjamurnya sekaa shanti di seluruh pelosok kota dan desa di Bali membuat apresiasi sastra tradisional semarak sekali. Di Bali dewasa ini ada sekitar 1430 desa pakraman, jika diasumsikan tiap desa ada 10 banjar dan setiap banjar ada satu sekaa shanti, maka ada seka shanti di sekitar 14.300. Atau, kalau sekaa shanti di kantor swasta, kantor pemerintah, bank, sekolah, kampus, hotel, dihitung maka jumlah sekaa shanti di Bali bisa mencapai 15.000. Sekaa ini merupakan pilar apresiasi sastra Bali.
Namun, studi atau kajian atau ulasan tentang sastra Bali tradisional sepi sekali. Analisis karya dalam bentuk tulisan kritik atau esai bisa dikatakan kosong. Sastra Bali modern pertama muncul tahun 1910-an berupa cerita pendek yang ditulis Made Pasek (seorang guru dari Singaraja) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak sekali terbit karya sastra Bali modern, tetapi ulasan terhadap karya yang muncul nyaris tidak ada.
Dalam sejarahnya yang relatif panjang, dunia sastra Bali modern baru memiliki dua-tiga buku tentang objek ini antara lain karya Mengenal Sastra Bali Modern (1991) karya Tusthi Eddy dan Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2000) karya Darma Putra. Namun, masih banyak mutiara terpendam dalam sastra Bali modern yang belum tergali, yang perlu ditambang atau didulang untuk mendapatkan emas-emas nasihat.
Kalau apresiasi sastra diumpamakan kepompong dan kritik sastra ibarat kupu-kupu, maka dalam kehidupan sastra kepompong jarang sekali yang berubah menjadi kupu-kupu. Apresiasi riuh rendah tetapi kritik sastra sepi-jampi.
Mengapa Senyap?
Mengapa kritik sastra tidak sesemarak penciptaan dan apresiasi sastra? Sunyi senyapnya kritik sastra di Bali atau di Indonesia secara umum karena kehidupan sosial budaya kita berdasarkan sistem budaya Timur yang mengutamakan harmoni dan kerukunan. Tradisi ini kurang kondusif dalam menumbuhkan sikap kritis. Menilai orang lain, apalagi mencela atau mengkritik adalah hal yang dihindari karena bisa mengganggu kerukunan. Kritik diberikan konotasi negatif.
Dalam budaya Bali terkenal ungkapan “eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin” (jangan menganggap diri bisa, biar orang menilai), sepintas terasa mendorong sikap menilai tetapi sebetulnya jelas bermakna menyuruh kita diam, tidak banyak bicara, apalagi mengkritik. Ada karya yang merangsang sikap kritis, yaitu Gaguritan Bungkling, yang berisi pikiran kritis terhadap adat dan sistem nilai Bali tetapi karya seperti ini sedikit sekali jumlahnya alias perkecualian.
Perubahan sosial politik Indonesia dewasa ini yang ditandai dengan kebebasan berekspresi seharusnya mulai menumbuhkan tradisi kritik sastra atau seni yang kuat. Hal ini belum menampakkan hasil menggembirakan buktinya aktivitas kritik sastra masih nyanyi sunyi. Masalahnya mungkin, seperti pernah disampaikan Budi Darma, karena masyarakat kita kurang berfikir analitik, artikulatif, kurang argumentatif, dan kurang formulatif. Kerja kritik sangat membutuhkan sikap analitik, argumentatif, artikulatif dan formulatif.
Bakat menjadi kritikus bisa diasah dengan mulai rajin membaca karya sastra, mengumpulkan dan mengolah informasi, memulai dengan memetakan persoalan dan memformulasikan pemikiran atas materi yang ada atau karya yang dibaca. Kerja kritik memerlukan teori, itu sudah jelas. Namun, perspektif keliru tentang teori banyak membuat orang enggan menulis kritik sastra, padahal teori tidak mesti berupa sesuatu yang canggih, kompleks, abstrak, asing seperti yang umumnya datang dari dunia pemikiran Barat.
Pemakaian teori dalam analisis seni bisa dimulai dengan pendekatan sederhana tetapi ampuh, seperti komparatif, misalnya dengan mengungkapkan persamaan dan perbedaan beberapa teks atau aspek dari beberapa teks yang potensial untuk itu. Patut juga dibiasakan memformulasikan pikiran dengan pola analisis induktif (khusus ke umum) atau deduktif (umum ke khusus). Tantangan kehidupan sastra di Bali adalah mengubah tradisi apresiasi yang kuat menjadi tradisi kritik produktif sehingga kehidupan sastra tidak saja semarak tetapi kian bernilai-guna untuk dunia seni itu sendiri dan ilmu pengetahuan humaniora lainnya.
Kalau penulis diumpamakan api unggun, kritikus adalah angin, yang berhembus setia bukan untuk membunuh api unggun tetapi membuat unggun tetap membara, tetap memberikan semangat kreativitas. Era baru pascareformasi ini, di mana kebebasan berekspresi hampir-hampir tanpa batas, tidak ditekan seperti era Orde Baru, semestinya memberikan iklim baru tumbuhnya sikap kritis dan juga kritik sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar